Selasa, 28 Mei 2013

Pengawasan dan pemeriksaan adminitrasi perkara dan peralihan adminitrasi orang dan finansial dari DEPAG ke MA sesuai UU no 4. 2004 dan kepres no. 2. 2002

A . Pendahuluan
          Tuntutan reformasi yang berlangsung di negeri kita, juga telah merambah di bidang hukum. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang selama ini dianggap sakral dan dikeramatkan, tak luput dari jamahan reformasi. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tersebut telah mengalami empat kali amandemen/perubahan sampai saat ini.
      Pada amandemen ke tiga, pasal 24 UUD 1945 diamandir sehingga menjadi dua ayat, disamping ditambahkan tiga pasal baru yang diberi angka 24 A, 24 B, dan 24 C. Pasal 24 ayat (2) berbunyi: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”
Amandemen UUD 1945 tersebut di atas, sebagaimana disebut dalam pasal 24 (2), telah menaikkan landasan hukum seluruh lingkungan peradilan, termasuk badan peradilan agama dari undang-undang menjadi undang-undang dasar. existensi badan peradilan agama secara yuridis semakin kokoh. Reformasi hukum juga telah merambah dunia perad ilan dengan diterapkannya sistem baru di dunia peradilan, yakni memisahkan kekuasaan peradilan (yudikatif) dari kekuasaan eksekutif. Dalam dunia ketataanegaran hal ini sering disebut sebagai separation of power dalam teori trias politica, sedangkan istilah yang sering dipakai dalam dunia peradilan adalah system satu atap (one roof system). Disebut satu atap karena kini seluruh badan peradilan yang ada, baik judisial maupun finansial, administrasi dan organisai, semuanya disatukan di bawah kendali Mahkamah Agung R.I.
Dengan demikian jaminan Disampaikan pada “Pelatihan SIMPEG dan SIADPA Pengadilan Agama Dalam Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Pekanbaru di Tanjung pinang, tanggal 12 – 14 Juni 2008. Ketua Pengadilan Tinggi Agama Pekanbaru Era baru tersebut bagi badan peradilan agama dimulai sejak tanggal 30 Juni 2004 berdasarkan pasal 2 ayat (2) Keputusan Presiden R.I. No. 21 Tahun 2004 tentan „Pengalihan Organisasi, Administrasi dan Finansial di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung‟ jo. pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Penyatuan seluruh lembaga peradilan ke dalam Mahkamah Agung tersebut, sudah barang tentu salah satu sebabnya adalah karena masyarakat mengharapkan agar seluruh badan peradilan dapat meningkatkan kinerjanya dalam menegakkan hukum dan keadilan serta mampu menunjukkan citranya yang mandiri, bersih, berwibawa dan dihormati.
Sebagaimana selalu kita ingat, bahwa semenjak diundangkannya UU.No. 7 Tashun 1989, badan peradilan agama di Indonesia secara ilmiah dapatlah disebut sebagai badan peradilan yang sesungguhnya, tidak lagi disebut sebagai badan peradilan semu. Ciri dari suatu badan peradilan yang sesungguhnya adalah: mempunyai hukum acara sendiri, adanya administrasi peradilan yang tertib dan mampu mengeksekusi putusannya sendiri.
Ketentuan terhadap ketiga hal tersebut ada dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tersebut di atas yang kini telah diubah dan ditambah dengan UU> No. 3 Tahun 2006.
Dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan serta agar mampu menunjukkan citranya yang mandiri, bersih, berwibawa dan dihormati tersebut, dalam kerangka pelayanan hukum kepada masyarakat luas, diperlukan peningkatan pembinaan seluruh personel atau aparat peradilan agar dapat bekerja secara lebih professional dan proposional, efektif dan efisien, diseluruh bidang kerja, khususnya dibidang administrasi pengelolaan berkas perkara.
Pelatihan sebagaimana dihadapi sekarang ini antara lain bertujuan agar dapat diwujudkan suatu pola pikir ( unified legal opinion) dan pola tindak yang sama ( unified legal frame work) dalam melaksanakan tugas pokok peradilan, khususnya dalam pengelolaan perkara, khususnya dalam pelaksanaan minutasi serta administrasi kepegawaian.
B. Pengertian Administrasi.
Kata “Administrasi” berasal dari kata bahasa latin “ ad” yang berarti “intensif”, dan kata “ministrare” yang berarti: melayani, membantu, memenuhi. Jadi kata “administrasi” dalam arti bahasa berarti “ melayani dan membantu secara intensif”. Administrasi Negara, RP, 1988, Admninistrasi Manajemen dan Organisasi).
Di negeri kita kata “administrasi” mempunyai dua pengertian yang berbeda. Yakni pengertian yang diwarisi dari bahasa Belanda dan pengertian yang diwarisi dari bahasa Inggris. Dalam bahasa Belanda kata “ administratie” mempunyai pengertian yang sempit, A.Mukhsin Asyrof: ‘Administrasi Perkara Pada Pengadilan Agama” yang hanya mencakup pengertian tata usaha kantor sepertimencatat, mengetik, menggandakan dan sebagainya.
Dalam bahasa Inggris, kata “Administration” mempunyai pengertian: “proses kerjasama antara dua orang atau lebih berdasarkan rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan bersama yang ditentukan”. Dengan demikian pengertian “ Administrasi” yang ke dua ini mempunyai cakupan yang lebih luas dari pengertian yang pertama yang berasal dari bahasa Belanda.
Dalam dunia peradilan, dikenal dua bentuk administrasi, yakni administrasi umum yang biasa disebut bidang keseketariatan, dan administrasi perkara yang biasa disebut bidang kepaniteraan.
Bidang kesekretariatan mencakup administrasi perkantoran secara umum, yang antara lain meliputi administrasi kepegawaian, persuratan, keuangan dan lain-lain yang  berkaitan penanggungjawab bidang ini adalah Sekretaris pengadilan, dibantu oleh Wakil Sekretaris, dan kepala-kepala sub.(vide: pasal 43 UU.No.7 Tahun 1989).Sedangkan yang dimaksud dengan administrasi perkara yang masuk bidang kepaniteraan adalah: „seluruh proses penyelenggaraan yang teratur dalam melakukakan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam bidang pengelolaan kepaniteraan perkara yang menjadi bagian tugas pengadilan‟. Pelaksana dan penanggungjawab bidang ini adalah Panitera yang dibandtu oleh Wakil Panitera, Panitera Muda,Panitera Pengganti,Jurusita dan Jurusita Pengganti (vide: pasal 26 UU. No.7 Tahun 1989).
Berdasarkan ketentuan perundang-undang, ada tiga tugas pokok Panitera:
1) pelaksana administrasi perkara (pasal 101 UU.No.7 Tahun 1989).
2) pendamping hakim di persidangan(pasal 97 UU.No.7 Tahun 1989).
3) pelaksana putusan pengadilan dan tugas kejurusitaan (ps.98 UU.No.7 Tahun 1989).
Dengan penerimaan dan penyelesaian perkara. Pelaksana Berdasar pasal 5 UU.No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dan ditambah dengan UU.No. 3 Tahun 2006, pembinaan tehnis pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung. Dengan diberlakukannya Keputusan Presiden R.I. No. 21 Tahun 2004 tentang „ Pengalihan Organisasi, Administrasi dan Finansial di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung‟ pasal 2 ayat (2) jo. pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana disebut di atas, maka sejak tanggal 30 Juni 2004 bukan hanya pembinaan tehnis pengadilan saja yang menjadi tanggung jawab Mahkamah Agung, tetapi juga pembinaan finansial, administrasi dan organisasi (FAO) dari badan peradilan agama.
Administrasi peradilan sering dimasukkan sebagai salah satu komponen independensi kekuasaan kehakiman. Ia menjadi masalah serius ketika ditangani oleh eksekutif tetapi dengan menjadikan yudikatif tidak independen –meski tidak  dipermasalahkan di Jerman, misalnya. Persoalan menjadi sama seriusnya jika  ditangai oleh bukan eksekutif, misalnya oleh pihak yudikatif sendiri, karena isyu yang  dipertaruhkan adalah independensi.
Sebetulnya tidak ada keseragaman di tingkat internasional tentang  pengelolaan atau administrasi pengadilan itu. Tetapi terdapat berbagai model  sebagai berikut: dikelola sepenuhnya oleh yudikatif, dikelola oleh suatu organ  independen, dikelola bersama oleh beberapa organ negara, dikelola bersama oleh  yudikatif-eksekutif, dikelola sepenuhnya oleh eksekutif.
         Untuk waktu yang lama Indonesia  mewarisi tradisi Belanda yang  menempatkan administrasi peradilan di departemen kehakiman (sistem dua atap;  two roof system). Secara organisatoris, administratif dan finansial berada di bawah departemen yang terkait, tetapi dari segi  teknis peradilan berada di bawah MA. MA  berwenang melakukan kontrol teknis-yudisial hanya dalam bentuk kasasi maupun peninjauan kembali terhadap putusan-putusan badan peradilan tersebut.
Dualisme  atau sistem dua atap ini dianggap mengganggu independensi  kekuasaan badan-badan pengadilan dan diakhiri dengan UU No. 35/1999, yang mewajibkan peralihan  secara bertahap kewenangan departemen terkait kepada MA dalam jangka waktu 5  tahun sejak UU tersebut diundangkan Peralihan itu menandai babak baru dalam sistem kekuasaan kehakiman di  Indonesia. Dengan beban administrasi yang tentu saja bertambah, MA ditopang  Kepaniteraan dan Sekretariat MA. Beban administrasi membengkak seiring dengan  pemekaran daerah-daerah baru. Perlu dibuktikan, apakah pengelolaan dan  Secara prinsip tidak ada lagi dualisme sejak 2004 karena pembinaan semua badan peradilan umum     secara teknis, administratif maupun organisasi dan  finansial dilakukan oleh MA. Namun administrasi peradilan pajak, misalnya, masih di tangan pihak eksekutif. 
          Tanggung jawab administrasi (termasukan keuangan) peradilan mampu dilakukan  oleh MA sambil menyusutkan tunggakan  perkara dan menjatuhkan putusan yang  berkualitas. 
C . Pengawasan Dalam Sistem Peradilan Satu Atap Dengan diundangkannya Undang- Undang Nomor 4 dan 5 Tahun 2004 maka organisasi, Administrasi dan finansial seluruh badan peradilan berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, hal mana juga membawa dampak terhadap fungsi pengawasan Mahkamah Agung.Pasal 46 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2004 memberikan tenggat waktu kepada Mahkamah Agung paling lambat 12 bulan terhitung sejak undang – undang tersebut diundangkan yaitu tanggal 15 Januari 2004 untuk menyusun organisasi dan tata kerja yang baru di lingkungan Mahkamah Agung.
        Pasal 5 ayat (2) Undang- nUndang Nomor 5 Tahun 2004 menentukan bahwa Wakil Ketua Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Wakil Ketua Yudisial dan  Wakil Ketua Bidang Non- Yudisial. Pada ayat (5) ditentukan bahwa Wakil Ketua Bidang Non-Yudisial membawahi Ketua Muda Pembinaan dan Ketua Muda Pengawasan.
    Selanjutnya Pasal 25 ayat (1) Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004 menentukan bahwa pada Mahkamah Agung ditetapkan adanya Sekretariat yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Mahkamah Agung. Pada ayat (3) ditentukan bahwa pada Sekretariat Mahkamah Agung dibentuk beberapa Direktorat Jenderal dan Badan yang dipimpin oleh beberapa Direktur Jenderal dan Kepala Badan. Dan sejak saat itu terdapat Badan yang bertugas untuk melakukan Pengawasan Fungsional di Mahkamah Agung RI dan seluruh Badan Peradilan di bawahnya dengan nama “ Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI “.
      Berlaku Undang-undang Nomr 4 Tahun 2004.
    Setelah selama rentang waktu 5 (lima) tahun, Mahkamah Agung membentuk tim kerja untuk mempersiapkan segala sesuatunya termasuk perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur lebih lanjut tentang peralihan badan peradilan ke Mahkamah Agung maka Pengadilan Agama saat itu sedang proses memerankan eksistensi yang lebih mapan menuju keberadaan  dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung.
    Begitu disahkan dan diundangkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, secara tegas sesuai pasal 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 menyebutkan bahwa penyelenggaraan kekuasan kehakiman dimaksud dalam pasal 1 Undang-undang  tersebut dilakukan  oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
    Pada tahun 2004 itu pelaksanaan pengalihan organisasi, administrasi dan finansial badan-badan  peradilan ke Mahkamah Agung dilakukan. Sebagaimana disebutkan pada pasal 2 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004 maka terhitung sejak tanggal 30 Juni 2004 Pengadilan Agama dialihkan dari Departemen Agama ke MahkamahAgung.
     Masa Berlaku Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.
    Pada tanggal 29 Oktober 2009 telah disahkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dengan disahkannya Undang-undang ini maka Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi kecuali semua ketentuan yang merupakan pelaksanaan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
    Pada dasarnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman sudah sesuai dengan perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, namun Undang-undang tersebut belum mengatur secara komprehensif tentang penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yang merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, limgkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer,lingkungan peradilan Tata Usaha Negara,dan sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
    Selain pengaturan secara komprehensif, Undang-Undang ini juga untuk memenuhi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU/2006 ,yang salah satu amarnya telah membatalkan Pasal 34 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga telah membatalkan ketentuan yang terkait dengan pengawasan hakim dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
    Sehubungan dengan hal tersebut, sebagai upaya untuk memperkuat penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan mewujudkan sistem peradilan terpadu ( integrated justice system), maka Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai dasar penyelenggaraan kekuasaan kehakiman perlu diganti.
Hal - hal penting dalam Undang-Undang ini antara lain sebagai berikut :
1.Mereformasi sistematika Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman terkait dengan pengaturan secara komprehensif dalam Undang-Undang ini, misalnya adanya bab tersendiri mengenai asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
2.Pengaturan umum mengenai pengawasan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
3.Pengaturan umum mengenai pengangkatan dan pemberhentian hakim dan hakim konstitusi.
4.Pengaturan mengenai pengadilan khusus yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.
5.Pengaturan mengenai hakim ad hoc yang bersifat sementara dan memiliki keahlian serta pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara.
6.Pengaturan umum mengenai arbitrase dan alternatif peneyelesaian sengketa di luar pengadilan.
7.Pengaturan umum mengenai bantuan hukum bagi pencari keadilan yang tidak mampu dan pengaturan mengenai pos bantuan hukum pada setiap pengadilan.
8.Pengaturan umum mengenai jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi. 
D . Peralihan ke Mahkamah Agung
    Perubahan UUD 1945 yang membawa perubahan mendasar mengenai   penyelengaraankekuasaan kehakiman, membuat perlunya dilakukan perubahan secara komprehensif mengenai Undang-Undang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
    Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan.
    Konsekuensi dari UU Kekuasaan Kehakiman adalah pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Sebelumnya, pembinaan peradilan agama berada di bawah Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama. Terhitung sejak tanggal 30 Juni 2004, organisasi, administrasi, dan finansial peradilan agama dialihkan dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung. Peralihan tersebut termasuk peralihan status pembinaan kepegawaian, aset, keuangan, arsip/dokumen, dan anggaran menjadi berada di bawah Mahkamah Agung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar