BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam pemeriksaan
perkara dalam pengadilan negeri tahap jawab menjawab antara tergugat dan
penggugat adalah hal yang penting apa yang dikemukakan oleh tergugat itu lebih
penting dari pada penggugat karena tergugat adalah sasaran penggugat. Pada
dasarnya tergugat tidak wajib menjawab gugatan penggugat, akan tetapi jika
tergugat menjawabnya maka dilakukan secara tertulis maupun secara lisan. Jawaban
tergugat bisa berupa pengakuan, bantahan, tangkisan dan referte.
Dengan
macam-macam jawaban tersebut maka, makalah ini akan mengambil salah satu
permasalan yang akan dibahas yaitu tentang tangkisan atau (eksepsi). Eksepsi
adalah suatu tangkisan atau sanggahan yang tidak menyangkut pokok perkara.
Eksepsi disusun dan diajukan berdasarkan isi gugatan yang dibuat penggugat
dengan cara mencari kelemahan-kelemahan ataupun hal lain diluar gugatan yang
dapat menjadi alasan menolak/menerima gugatan.
Eksepsi mempunyai
ruang lingkup yang kompleks oleh karena itu dibutuhkan pembahasan yang luas.
Sebaliknya bantahan terhadap pokok perkara lebih sederhana sehingga tidak
memerlukan uraian panjang lebar. Sehubung dengan itu, pada bagian ini
berrturut-turut akan dibahas tentang masalah eksepsi dan bantahan terhadap
pokok perkara.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah
yang dimaksud dengan Eksepsi dan tujuannya dalam hukum perdata?
2.
Bagaimanakah
cara mengajukan eksepsi dalam pengadilan?
3.
Apa
sajakah jenis-jenis Eksepsi itu?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Tujuan Eksepsi
Exceptie
(Belanda), Exception (inggris) secara umum berarti pengecualian. Akan tetapi
dalam konteks hukum perdata, bermakana tangkisan atau bantahan (objection),
bisa juga pembelaan (plea) yang diajukan tergugat terhadap materi pokok gugatan
penggugat. Namun, tangkisan atau bantahan yang diajukan dalam bentuk eksepsi
diantaranya: Ditunjukkan kepada hal-hal yang menyangkut syarat-syarat atu
formalitas gugatan, yaitu jika gugatan yang diajukan mengandung cacat atau pelanggaran
formil yang mengakibatkan gugatan tidak sah yang karenanya gugatan tidak dapat
diterima. (inadmissible).
Dengan demikian,
kebenaran yang diajukan dalam bentuk eksepsi tidak ditunjukkan dan tidak
menyinggung bantahan terhadap pokok perkara (Verwees Ten Principale) , bantahan
atau tangkisan terhadap materi pokok perkara diajukan sebagai bagian tersendiri
mengikuti eksepsi.
Tujuan pokok
pengajuan eksepsi yaitu agar pengadilan mengakhiri proses pemeiksaan tanpa
lebih lanjut memeriksa materi pokok perkara, pengakiran yang diajukan melalui
eksepsi bertujuan agar pengadilan menjatuhkan putusan yang negatif, yang
menyatakan gugatan tidak dapat diterima (Niet Onvant Klihk). Berdasarkan
keputusan negatif itu, pemeriksaan perkara diakhiri tanpa menyinggung
penyelesaian materi pokok perkara. Misalnya
:tergugat mengajukan esepsi, gugatan penggugat tidak jelas (Obscuur Libel).
Apabila eksepsi itu diterima dan dibenarkan PN, proses penyelesaian perkara
diakhiri dengan putusan negatif yang menyatakan gugatan tidak diterima, contoh
: putusan MA No. 239k/sip/1986, yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima
atas alasan tidak memenuhi syarat formil karena gugatan yang diajukan tidak
berdasarkan hukum.[1]
B.
Cara
Mengajukan Eksepsi
Cara pengajuan
eksepsidiatur dalam beberapa pasal yang terdiri dari pasal 125ayat 2, pasal 133
pasal 134,dan pasal 136 HIR Cara pengajuan, berkenaan dengan ketentuan kapan
eksepsi disampaikan dalam proses pemeriksaan. Berdasarkan pasal-pasal diatas
terdapat perbedaan cara-cara pengajuan eksepsi, maka dibawah ini ada tiga cara
mengajukan eksepsi diantaranya:
1.
Cara
Mengajukan Eksepsi Kewenangan Absolut (Exceptio Dec Linatoir) :
Dapat
diajukan tergugat setiap saat
Menurut pasal 134 HIR maupun pasal 136 Rv eksepsi kewenagan absolut dapat
diajukan tergugat setiap saat :
ü Selama proses pemeriksaan
berlangsung disidang tingkat pertama (PN)
ü Tergugat dapat dan berhak
mengajukannya setiap proses pemeriksaan dimulai sampai sebelum putusan
dijatuhkan
Dengan demikian, jenis eksepsi ini dapat diajukan kapan saja, sebelum
putusan dijatuhkan, pengajuannya tidak dibatasi hanya pada sidang pertama,
tetapi terbuka dalam segala tahap proses pemeriksaan.
Secara
Ex-Officio
Hakim harus menyatakan diri tidak berwenang tentang hal ini, lebih jelas
diatur dalam pasal 132 Rv yang berbunyi : “Dalam hal ini hakim tidak berwenang
karena jenis pokok perkaranya maka, ia meskipun tidak diajukan tangkisan
tentang ketidak wenangannya, karena jabatannya wajib menyatakan dirinya tidak berwenang”.[2]
Pada dasarnya tidak ada perbedaan prinsip antara pasal 134 HIR dengan pasal
136 Rv, perbedaannya hanya terletak pada penegasan pengajuannya pasal 134 HIR
mengatur dengan tegas eksepsi kopetensi absolut dapat diajukan setiap saat.
Bertitik tolak pada kedua pasal yang dimaksud, dapat dikemukakan Landasan Yurisdiksi
berkenaan dengan eksepsi kompetensi absolut.
a.
Tergugat dapat mengajukannya setiap saat, selama proses pemeriksaan
berlangsung
b.
Hakim secara ex officio, wajib menyatakan diri tidak berwenang mengadili
perkara yang diperiksanya dengan ketentuan:
ü apabila perkara yang diajukan,
secara absolut berada diluar yurisdiksinya atau termasuk dalam kewenangan
lingkungan peradilan lain.
ü Kewajiban itu mesti
dilakukannya secara ex-officio meskipun tergugat tidak mengajukan eksepsi tentang
itu.
Dapat
diajukan pada tingkat banding dan kasasi
Pada dasarnya Yurisdiksi Absolut merupakan persoalan ketertiban umum
(public order). Oleh karena itu, tidak boleh dilanggar oleh siapapun
pelanggaran terhadapnya batal demi hukum. Jika hal tersebut diperhatikan,
tergugat dapat mengajukan eksepsi tentang hal itu pada tingkat banding maupun
tingkat kasasi yang dituangkan dalam memori banding dan kasasi, atas alasan
telah terjadi mengadili melampaui batas kewenangan. Akan tetapi, meskipun hal
itu tidak diajukan dalam memori, hakim tingkat banding maupun kasasi wajib
memeriksa dan memutus tentang hal itu berdasarkan fungsi Ex-Officio yang
digariskan pada pasal 134 HIR.[3]
2.
Cara
Mengajukan Eksepsi Kompetensi Relatif (Relative Competentie)
Bentuk dan saat pengajuan eksepsi kompetensi relatif diatur dalam pasal 125
ayat (2) dan pasal 133 HIR. Bertitik tolak dari kedua pasal tersebut, dapat
dijelaskan hal-hal sebagai berikut:
a.
Bentuk pengajuan
Pengajuan eksepsi
kompetensi yang dibenarkan oleh hukum:
ü Berbentuk Lisan (Oral)
Hal ini diatur
dalam pasal 133 HIR, yang memberi hak kepada tergugat untuk mengajukan eksepsi
kompetensi relatif secara lisan. Oleh
karena Undang-Undang sendiri meyakini keabsahanya berbentuk lisan, PN:
-
Tidak boleh menolak ataupun mengenyampingkannya
-
Hakim wajib menerima dan mencatatnya dalam berita acara sidang, untuk
dinilai dan dipertimbangkan sebagaimana mestinya.
Hakim yang menolak
dan tidak mempertimbangkan eksepsi lisan, dianggap melanggar tata tertib
beracara dan tindakan itu dikualifikasikan sebagai penyalah gunaan wewenang (absolut of authority)
ü Berbentuk Tulisan (Inwriting)
Diatur dalam pasal
125 ayat 2 jo. Pasal 121 HIR. Menurut pasal 121 HIR, tergugat pada hari sidang
yang ditentukan diberi hak untuk memberi jawaban tertulis, sedang pasal 125
ayat 2 menyatakan :
-
Dalam surat jawaban tergugat dapat mengajukan eksepsi kompetensi relatif
menyatakan perkara yang disengketakan tidak termasuk kewenangan relatif PN yang
bersangkutan.
-
Oleh karena eksepsi itu dikemukakan dalam surat jawaban, berarti
pengajuannya bersama-sama dan merupakan bagian yang tidak terpisah dari
bantahan terhadap pokok perkara
b.
Saat pengajuan eksepsi kompetensi relatif
Memperhatikan ketentuan pasal 125
ayat 2 dan pasal 133 HIR, pengajuan eksepsi ini harus disampaikan :
-
Pada sidang
pertama
-
Bersamaan
pada saat mengajukan jawaban pertama terhadap materi pokok perkara.
Apabila pada siding pertama belum
diajukan jawaban, tidak gugur hak mengajukan eksepsi kompetensi relatif,
misalnya: pada hari sidang pertama pihak penggugat atau tergugat tidak hadir
baik berdasarkan alasan yang sah maupun tidak sah berdasarkan peristiwa itu,
siding dimundurkan. Maka, Patokan sidang pertama untuk mengajukan eksepsi
adalah pada sidang berikutnya pada saat tergugat mengajukan jawaban pertama
atau pada pihak hadir pada sidang pertama, tetapi tergugat meminta sidang
diundur untuk menyusun jawaban.
3.
Cara
dan Saat Pengajuan Eksepsi Lain
Meskipun
Undang-Undang menyebutkan eksepsi mengadili secara absolute dan relatif, masih
banyak lagi eksepsi lain yang diakui keabsahan dan keberadaannya oleh doktrin
hukum dam praktek peradilan. Sebenarnya keabsahan dan keberadaan eksepsi lain
diluar eksepsi kompetensi, duakui secara tersirat dalam pasal 136 HIR, pasal
114 Rv yang berbunyi : “ perlawanan yang sekiranya hendak dikemukakan oleh
tergugat (exceptie), kecuali tentang hal hakim tidak berkuasa, tidak akan
dikemukakan dan ditimbang masing-masing, tetapi harus dibicarakan dan
diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara.[4]
Ditinjau dari
doktrin dan praktek sangat banyak bentuk eksepsi lain diluar eksepsi kompetensi,
dengan cara pengajuan yang dijelaskan dibawah ini :
a.
Saat
pengajuannya
Mengenai saat pengajuan, lebih jelas
diatas pada pasal 114 Rv ketentuan tersebut telah dijadikan pedoman oleh
kalangan praktisi hukum, yang menggariskan :
-
Semua
eksepsi, kecuali kompetensi absolut, harus disampaikan secara bersama-sama pada
jawaban pertama terhadap pokok perkara
-
Dengan
ancaman, apabila tidak diajukan bersamaan pada jawaban pertama terhadap pokok
perkara maka, hilang hak tergugat untuk mengajukan eksepsi
Antara pasal 136 HIR dan pasal 114
Rv, tidak terdapat perbedaan mengenai cara pengajuan eksepsi kompetensi relatif
dengan eksepsi lain yaitu mesti diajukan pada jawaban pertama, bersama-sama
dengan jawaban pokok perkara.
b.
Bentuk pengajuan
Jika bertitik tolak dari sistem
proses persidangan yang dianut oleh HIR atau RBg, yaitu beracara secara lesan
atau mondelinge procedure (oral hearing) pemeriksaan sengketa diantara para
pihak berlangsung secara Tanya jawab dengan lesan dalam persidangan, sehingga
dapat disimpulkan bentuk pengajuan eksepsi:
-
Dapat
dilakukan dengan lisan
Apabila penajuannya secara lisan,
hakim memerintahkan untuk mencatat dalam berita acara sidang yang penting
menjadi pegangan, eksepsi tersebut diajukan pada jawaban pertama bersama-sama
dengan jawaban pokok perkara.
-
Berbentuk
tertulis
Baentuk ini yang paling baik dengan
cara mencantumkannya dalam jawaban pertamamendahului uraian bertahan terhadap
pokok perkara (Ver Weer Ten Principale).
Dewasa ini jarang sekali terjadi pengajuan
eksepsi secara lisan tetapi diajukan secara bentuk tertulis dengan syarat
diajukan didalam jawaban pertama.[5]
C.
Jenis
– Jenis Eksepsi
Dalam praktik
hukum acara perdata yang berlaku saat ini,tangkisan atau eksepsi tergugat dapat
dibagi kepada dua kelompok besar,yaitu:
1.
Eksepsi formal
atau prossessfal exeptie
Eksepsi ini di dasarkan pada
tangkisan supaya pokok perkara yang di jadikan dalil gugat oleh penggugat
ditolak periksaannya oleh majelis hakim, sebab hal tersebut tidak oleh
ketentuan yang diatur oleh hukum acara perdata.
Tangkisan atau eksepsi yang termasuk
dalam kelompok ini antara lain sebagai berikut :
Ø Eksepsi Absolut
Eksepsi Absolut ini bertujuan agar
hakim menyatakan dirinya tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara yang
diajukan kepadanya, karena perkara tersebut bukan menjadi kewenangan bada
peradilan yang lain. Tangkisan terhadap kopetensi absolute ini dapat diajukan
setiap saat sepanjang pemeriksaan perkara (pasal 134 HIR dan Pasal 160
RBg)bahkan hakim wajib secara 6 kali officio segara memutuskan berkuasa atau yidaknya
ia memeriksa perkara yang bersangkutan tanpa menunggu diajukannya tangkisan
oleh tergugat.
Ø Eksepsi Relatif
Eksepsi ini bertujuan agar hakim
menyatakan bahwa dirinya tidak berwenang memeriksa dan memutuskan perkara aguo
karena perkara tersebut menjadi kewenangan pengadilan lain dalam satu
lingkungan badan peradilan yang sama.misalnya, pengadilan agama tegal dengan
pengadilan agama malang.
Eksepsi terhadap kopetensi relative
ini diajukan pada permulaan siding pertama atau pada kesempatan pertama sebagaimana
disebutkan dalam pasal 125 ayat (2) HIR, pasal 133 HIR, pasal 149 ayat (2) dan
pasal 159 RBg.
Ø Eksepsi Van Gewijsdd zaak
Eksepsi ini diajukan oleh tergugat
dengan tujuan agar hakim menyatakan gugatan tersebut tidak dapat diterima
karena perkara itu sudah nebis in idem, yaitu sudah pernah diputus, diperiksa,
dan diputus lagi untuk kedua kalinya. Dalam pasal 1917 BW dikemukakan bahwa
kekuatan suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap mutlak tidak lebih luas dari pada
sekedar mengenai putusan.
Ø Eksepsi Gemis Aan Hoe Danig Heid
Eksepsi ini bertujuan untuk
menggagalkan tujuan suatu gugatan karena penggugat tidak mempunyai kedudukan
untu mengajukan gugatan, mungkin dalam tangkisan atau eksepsi ini disebutkan
bahwa penggugat bukan berhak mengajukan gugatan, misalnya seorang bapak
mengajukan gugatan cerai untuk anaknya, meminta pengadilan agar mereka
diceraikan dengan suaminya, semestinya gugatan tersebut diajukan oleh anaknya
sendiri, bukan oleh bapaknya.
2.
Eksepsi
Materiil atau material Exeptie
Eksepsi ini ditujukan dengan tujuan
agar hakim yamg memeriksa perkara yang sedang berlangsung tidak melanjutkan
pemeriksaannya karena pemeriksaan tersebut dalil gugatannya bertentangan dengan
hukum perdata (hukum materiil)
Eksepsi yang termasuk kelompok ini
dapat dikelompokan sebagai berikut :
a.
Dilatoir
eksepsi
Eksepsi ini dilakukan dengan tujuan
untuk menggagalkan suatu gugatan, dengan tujuan gugatan yang diajukan oleh
penggugat belum tiba saatnya untuk diajukan atau posita gugat masih tergantung
pada saat yang belum terpenuhi,
misalnya: utang itu dibayar, karena tergugat tidak mau membayar maka, penggugat
mengajukan gugatan kepada pengadilan.
b.
Eksepsi
Aan Hanging Beding
Eksepsi yang menyatakan bahwa perkara
yang sama sekarang masih bergantung, masih dalam proses pengadilan lain, dan
belum ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Tergantungnya perkara
ini dalam pemeriksaan karena pengadilan yang mengadili perkara tersebut sedang
menunggu fatwa dari MA karena kemungkinan terjadi perselisihan kewenangan
mengadili antar pengadilanyang berbeda atau pengadilan perkara tersebut
terpaksa menghentikan pemeriksaan sementara karena saksi-saksi belum ada atau
dapat diajukan.
c.
Eksepsi
van Connexiteit
Eksepsi ini hamper sama dengan ekseppsi aan hangin
, bedanya perkara yang sedang berproses sekarang ada hubungannya dengan
pearkara yang sedang diperiksa dipengadilan yang lain dan belum ada keputusan
yang pasti.
d.
Eksepsi
Premtoir (premtoir exeptie)
Tangkisan yang menyangkut gugatan
pokok, atau meskipun tergugat mengakui dalil gugat akan tetapi
tergugatmengemukakan keterangan tambahan yang prinsipal, sehingga oleh karena
gugatan oleh penggugat tidak diteruskan pemeriksaannya, misalnya: tergugat
mengakui memang ada hutang terhadap penggugat, tetapi hutang tersebut sudah
dibayar lunas olehnya maka, tidak ada alasan bagi penggugat untuk menggugat
hutangnya kepada tergugat.
e.
Eksepsi
plurium Litis Consortium
Tangkisan yang menyatakan bahwa
seharusnya digugat juga tergugat-tergugat yang lain, tidak hanya tergugat
sendiri yang menjadi tergugat tanpa menggugat tergugat yang lain maka, subyek
gugatan menjadi tidak lengkap sebab ada keharusan dalam hukum acara perdata
bahwa para pihak dalam gugatan harus dicantumkan secara lengkap.
f.
Eksepsi
Non Adimpleti Contractus
Tangkisan yang menyatakan bahwa
penggugat juga tidak melakukan isi persetujuan, tergugat tidak ingin memenuhi
persetujuan, tergugat tidak mau berprestasi karena penggugat juga wan prestasi
keadaan ini bisa terjadi dalam hal persetujuan timbale balik.
g.
Eksepsi
Obscuur Libel
Tangkisan yang bertujuan agar hakim
memutuskan bahwa gugatan penggugat dinyatakan tidak diterimakarena gugatan yang
diajukan tidak jelas permasalahannya (kabur). Dalam 125 ayat 1 HIR dan pasal
149 ayat 1 RBg dikemukakan bahwa gugatan yang kabur adalah gugatan yang melawan
hak dan tidak beralasan. Dalam gugatan itu tidak dicantumkan dengan jelas dan
rinci obyek yang menjadi sengketa, kalau seumpama tanah yang menjadi sengketa
tidak disebutkan berapa luasnya dan batas-batasnya.
h.
Posita dan
Petitum Berbeda
Tangkisan ini berupa permintaan
kepada hakim agar menghentikan pemeriksaan perkara karena perkara yang diajukan
oleh tergugat tidak didukung oleh posita, segala hal yang diminta oleh penggugat
dalam petitum gugatan tidak pernah sama sekali disebutkan dalam posita gugatan.
i.
Gugatan
yang daluarsa
Eksepsi ini bertujuan agar hakim memutus
bahwa gugatan penggugat dinyatakan tidak diterima karena perkara yang diajukan
itu telah terlampaui waktunya. Dalam pasal 1946 BW dikemukakanbahwa daluarsa
merupakan suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau dibebaskan dari suatu
perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang
ditentukan oleh Undang-Undang[6]
BAB III
KESIMPULAN
Eksepsi disusun
dan diajukan berdasarkan isi gugatan yang dibuat penggugat dengan cara mencari
kelemahan-kelemahan ataupun hal lain diluar gugatan yang dapat menjadi alasan
menolak/menerima gugatan. Adapun tujuan pokok pengajuan eksepsi yaitu agar
pengadilan mengakhiri proses pemeiksaan tanpa lebih lanjut memeriksa materi
pokok perkara, pengakiran yang diajukan melalui eksepsi bertujuan agar
pengadilan menjatuhkan putusan yang negatif, yang menyatakan gugatan tidak
dapat diterima (Niet Onvant Klihk)
v Cara pengajuan eksepsi ada tiga cara yaitu :
1.
Cara
Mengajukan Eksepsi Kewenangan Absolut (Exceptio Dec Linatoir)
2.
Cara
Mengajukan Eksepsi Kompetensi Relatif (Relative Competentie)
3.
Cara dan
Saat Pengajuan Eksepsi Lain
v Jenis-jenis eksepsi antara lain:
a.
Eksepsi
formal atau prossessfal exeptie, terdiri dari :
Ø Eksepsi Absolut
Ø Eksepsi Relatif
Ø Eksepsi Van Gewijsdd zaak
Ø Eksepsi Gemis Aan Hoe Danig Heid
b.
Eksepsi
Materiil atau material Exeptie
Eksepsi yang termasuk kelompok ini
dapat dikelompokan sebagai berikut :
Ø Dilatoir eksepsi
Ø Eksepsi Aan Hanging Beding
Ø Eksepsi van Connexiteit
Ø Eksepsi Premtoir (premtoir exeptie)
Ø Eksepsi plurium Litis Consortium
Ø Eksepsi Non Adimpleti Contractus
Ø Eksepsi Obscuur Libel
Ø Posita dan Petitum Berbeda
Ø Gugatan yang daluarsa
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan.2008.Penerapan Hukum Acara Perdata di
Lingkungan Peradilan Agama.Jakarta:Kencana.
Engel Bredit.1992.Himpunan Peraturan Perundang Undangan
RI.Jakarta:Internusa.
Harapah, M.Yahya.1977.Hukum Acara Perdata Peradilan
Indonesia. Medan:Zakir.
M.Yahya Harapah.2009.Hukum Acara Perdata. Jakarta
:Sinar Grafika.
Soepomo.1993.Hukum Acara Pengadilan Negeri.Jakarta:Pradnya
Paramita.
Soesilo.1985.RIB/RBG Dengan Penjelasan.Bogor:Politeix.
[1] Harapah, M.Yahya.2009.Hukum Acara Perdata. Jakarta :Sinar
Grafika. Hal 418-419
[2] Bredit, Engel.1992.Himpunan Peraturan Perundang Undangan RI.Jakarta:Internusa.hal
618
[3] Soepomo.1993.Hukum Acara Pengadilan Negeri.Jakarta:Pradnya
Paramita.hal 52
[4] Soesilo.1985.RIB/RBG Dengan Penjelasan.Bogor:Politeix.hal 96
[5] Harapah, M.Yahya.1977.Hukum Acara Perdata Peradilan Indonesia.
Medan:Zakir.hal 29
[6] Manan,Abdul.2008.Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama.Jakarta:Kencana.
hal 218-223
Tidak ada komentar:
Posting Komentar