Kamis, 30 Mei 2013

H{I>><LAH DALAM HUKUM ISLAM
DAN CHARGE CARD SECARA UMUM
A.  H{i>lah dalam Islam
1.    Pengertian H{i>lah
H>>{i>lah adalah bentuk jamak dari al-h}iya>l  (الحيل)adalah sebuah strategi hukum untuk mengelak dari kententuan syariat (hukum agama) yang secara teknik tidak dipandang sebagai melanggar hukum[1]. Adapun secara istilah, al-h}i>lah adalah melakukan suatu amalan yang dhahirnya boleh untuk membatalkan hukum syar’i serta memalingkannya kepada hukum yang lainnya.
اَلْحِيْلَةُ هِيَ تَقْدِيْمُ عَمَلُ الظَّاهِر الْجَوَازَ لإِبْطَال حُكِْم شَرْعِيِ وَتَحْويْلِهِ مِنَ الظَّاهِر إِلَى حُكِْم آخَرِ

Artinya :“H}i>lah adalah menampilkan suatu perbuatan yang kalau dilihat dari luarnya adalah boleh untuk membatalkan hukum hukum syara’ dan mengubahnya kepada hukum yang lainnya.”[2]

Menurut al-Syāthibi, pada hakekatnya, kata ini memiliki pengertian : mendahulukan perbuatan yang tampaknya boleh untuk menggantikan suatu hukum dan mengalihkannya ke hukum lain.[3]
Sedangkan menurut Ibnu Qoyim Al jauziyah H{i>lah  adalah mencari jalan dengan  cara yang licik untuk menyembunyikan kenyataan bahwa sebenarnya tujuannya adalah melakukan sesuatu yang diharamkan. Oleh karena itu, tingkah laku pelaku h{i>lah ini mendapat predikat “jalan orang yang licik” atau thariiq al khaidaa’, karena perbuatan luar mereka berbeda dengan motif mereka yang tersebunyi, yang amat sulit terdeteksi dari luar.[4]
Sedangkan h{i>lah dalam Al Mausu’ah al Fiqhiyyah adalah  kecerdikan akal dalam mengelola untuk membalikkan keadaan setiap pikiran untuk dibimbing kepada makna dimaksudkan.[5] untuk menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya, tujuannya adalah melakukan sesuatu yang diharamkan oleh hukum syara’.
Pengertian h}i>lah di barat biasa disebut dengan  legal fiction (fiksi hukum):
“The assumption by the law that a particular assertion is true (even though it may not be) in order to support the functioning of a legal rule”.

Asumsi secara hukum bahwa suatu pernyataan tertentu adalah benar (walaupun mungkin tidak) untuk mendukung berfungsinya aturan hukum.[6]
Alasan h}i>lah haram dilakukan melalui teori istiqra>  (induksi dari berbagai dalil) di antaranya ayat-ayat yang berkaitan dengan orang-orang yang munafik, sedangkan istiqra>  menurut kamus ushul fiqih, istiqra>   adalah sebuah metode pengambilan kesimpulan umum yang dihasilkan oleh fakta-fakta khusus yang digunakan oleh ahli-ahli fiqh untuk menetapkan suatu hukum.[7]
H{i<lah atau H>{iya>l asy-syar’iyah (Muslihat Syari’at) merupakan metode fiqih Abu Hanifah, dalam beberapa riwayat Abu Hanifah menggunakan metode ini untuk memecahkan beberapa masalah, penggunaan metode “Muslihat Syari’at” ini bukan untuk menipu dalam menggugurkan kebenaran dan membolehkan memakan harta manusia dengan cara yang batil. Tetapi, untuk mencari jalan keluar dalam masalah fiqih yang rumit tanpa merugikan harta dan jiwa orang lain.[8] Sementara menurut penganut Syafi’i, Maliki, Hanbali telah menyatakan bahwa penggunaan h}i>lah bersifat haram dan benar-benar dilarang.[9]
Sedangkan  menurut kalangan fuqaha kontemporer, yaitu Ibn A<shu>r, h{i>lah ialah melakukan perbuatan yang dilarang oleh syara’ dalam bentuk yang diharuskan, atau melakukan perbuatan yang tidak dibenarkan oleh syara’ dalam bentuk yang dibenarkan dalam mencapai maksud tertentu.[10]
Dari beberapa definisi h}i>lah di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud perbuatan h}i>lah adalah seseorang yang dengan sengaja memanipulasi hukum dan mencari-cari jalan dengan cara yang tersembunyi untuk menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya, tujuannya adalah melakukan sesuatu yang diharamkan oleh hukum syara’.
2.    Dasar Hukum
Adapun yang menjadi dasar hukum pelarangan perbuatan h}iya>l adalah al-Quran dan hadits.
a.       Al-Quran
QS. An-Nahl 16: 116
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ
Artinya :”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung”.[11]

QS. Al-A’raf 7: 163
وَاسْأَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعًا وَيَوْمَ لَا يَسْبِتُونَ لَا تَأْتِيهِمْ كَذَلِكَ نَبْلُوهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ
Artinya :”dan tanyakan kepada bani israil tentang negeri yang terletak didekat laut ketika mereka melanggar aturan kepada hari sabtu, diwaktu datang kepada mereka ikan –ikan (yang ada disekitar) mereka terapung-apung di permukaaan air, dan di hari-hari yang bukan sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka demikianlah kami mencoba mereka disebabkan berlaku fasik.”[12]
QS. An-Naml 27 : 50
وَمَكَرُوا وَمَكَرَ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ
Artinya:”orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu dan allah sebaik-baik pembalas tipu daya itu[13]”.

b.      Hadits:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ يَزِيدِ بْنِ أَبِي حَبِيبِ عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ قَاتَلَ اللَّهُ
الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ
Artinya :“Telah meberitahukan kepada kami Qutaiba, telah memberitahukan kepada kami al-Lais dari Yazid ibn Abi Habib dari Atha’ ibn Abi Rabah dari jabir ibn Abdullah aku mendengar Rasul bersabda: ”Allah memerangi Yahudi, sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas mereka lemak bangkai, namun mereka cairkan lalu mereka jual dan mereka memakan hasil penjualannya[14].”

H{i>lah sering sekali dikaitkan tentang amalan/perbuatan orang Yahudi dalam rangka menolak ajaran Allah melalui utusanya, terlihat dari beberapa ayat al-Qur’an, yang salah satunya menerangkan cerita tentang Ashabus Sabt, dimana mereka diharamkan mencari ikan pada hari sabtu, tapi mereka tetap mendatangi sungai yang menuju ke laut. Mereka meletakan jala pada hari jum’at kemudian ikan-ikan masuk kedalam jala pada hari sabtu, dan mereka mengambilnya pada hari berikutnya. Sedangkan dalam hadist, ketika Allah swt. Mengharamkan makan lemak pada Bani Israil, namun mereka mencairkan lemak itu, kemudian menjualnya dan hasilnya mereka makan.
Sedangkan yang menjadi dalil dalam pembolehan h}i>lah berdasarkan al-Quran:
a.       Al-Quran;
QS. An-nisa’ 4: 98
إِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا
Artinya: kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah)[15].
QS. Shaad’ 38: 44
وَخُذْ بِيَدِكَ ضِغْثًا فَاضْرِبْ بِهِ وَلَا تَحْنَثْ إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ
Artinya: Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat ta`at (kepada Tuhannya)[16].
H{i>lah dalam ayat diatas Allah memberi kelonggaran kepada golongan yang tidak mencari h{i>lah untuk berhijrah ke Madinah, dan tidak menganggap mereka sebagai ahli neraka jahanam. Walaupun Allah menggunakan kata h{i>lah dalam firmanya, tetapi dalam konteksnya, ia bermaksud jalan keluar untuk melepaskan diri dari kekangan orang-orang kafir

3.    Macam-macam H>{i<lah secara umum
a)      H{i>lah yang dilarang (al-h{iya>l al-madhmu>mah/ghayr al-mashru>’ah) sekiranya jalan yang digunakan adalah untuk mencapai tujuan/maksud yang buruk yang bertentangan dengan syara’/ menukarnya kepada hukum yang lain seperti meninggalkan yang wajib dan menghalalkan apa yang haram serta merusakkan, h{i>lah dalam kategori ini disepakati oleh semua madzhab.
b)      H{i>lah yang dibolehkan (al-h{iya>l al-mah{mu>dah/al-mashru>’ah) sekiranya jalan yang dimaksud adalah untuk mencapai tujuan/jalan yang baik dan tidak bertentangan dengan syara’ adalah untuk menegakkan ajaran Allah dan meninggalkan laranganya. H{i>lah dalam bentuk ini secara umum diterima oleh jumhur fuqaha’, namun penggunaan secara khusus dan meluas dalam konteks ini digunakan oleh ulama madzhab Hanafi[17].
           Sedangkan Ibnu Qoyim Al-Jauziyah membagi h{i>lah menjadi empat macam:
1.      H>{i<lah yang mengandung tujuan yang diharamkan dan cara yang digunakan cara yang haram.
2.      H{i<lah yang dilakukan dengan melaksanakan perbuatan yang dibolehkan, tetapi bertujuan untuk membatalkan hukum syarak lainya.
3.      Cara yang ditempuh bukan cara yang haram, melainkan sesuai dengan yang disyariatkan, akan tetapi perbuatan tersebut digunakan untuk sesuatu yang diharamkan.
4.      H{i<lah yang digunakan itu untuk mendapatkan suatu hak atau menolak kelaliman[18].
4.    Hukum H{i>lah
Pada masa sekarang banyak ditemukan praktik-praktik h}i>lah yang tersebar di masyarakat, baik dilakukan oleh suatu lembaga, kelompok, atau individu tertentu. Melakukan tipu muslihat untuk menghalalkan yang haram dengan tujuan yakni untuk mencari kesenangan duniawi.
Menurut Asy-Syatibi menyebutkan enam alasan dilarangnya perbuatan h}i>lah antara lain:
1.      Tujuan pelaku h}i>lah bertentangan dengan tujuan syar’i (Allah SWT dan Rasulullah SAW)
2.      Akibat dari perbuatan h}i>lah membawa kepada kemafsadatan (kerusakan) yang dilarang oleh agama
3.      Dalam akad yang melaksanakan suatu perbuatan berdasarkan h}i>lah, kehendak untuk melakukan akad itu sesungguhnya tidak ada, sehingga unsur kerelaan dalam akad yang dilakukan sebenarnya tidak ada
4.      H}i>lah itu batal karena syaratnya yang bertentangan dengan kehendak akad
5.      H}i>lah merupakan pembatalan terhadap hukum, sebab h{i>lah dilakukan dengan meninggalkan atau menambah syarat yang menyalahi ketentuan syariat.
6.      H}i>lah haram berdasarkan teori istiqra’ (induksi dari berbagai dalil). Dalil-dalil tersebut di antaranya adalah ayat-ayat al-Qur’an yang menceritakan orang munafik yang tidak ikhlas dalam beramal. H}i>lah dilakukan karena menghindari suatu kewajiban, dan ini perilaku yang tidak ikhlas.[19]
5.    Aspek-aspek Pembentuk H}i>lah
Dalam suatu pembentukan h}i>lah pada suatu konsep hukum Islam, haruslah ditinjau dari beberapa aspek supaya pembutukan h}i>lah tidak menyebabkan pembatalan suatu hukum. Aspek-aspek pembentukan h}i>lah antara lain, maqashid al-syariah, qasd al-mukallaf, wasa>’il, maslaha, azi>mah dan rukhs}ha.
a)      Aspek Maqa>shid al-Syari>ah
Maqashid al-Sya>riah ulama ushul fiqih mendefinikan maqa>shid al-syari>ah dengan makna dan tujuan yang dikehendaki oleh syara’ dalam mensyariatkan hukum bagi kemaslahatan umat manusia, maqashid al-sya>riah juga disebut juga asrar al-syari’ah yaitu rahasia-rahasia yang terdapat dibalik hukum yang ditetapkan oleh syara’, berupa kemaslahatan bagi manusia baik di dunia dan akhirat[20].
Konsep maqa>shid al-sya>riah mempunyai relevansi yang begitu erat dengan konsep motivasi, konsep motivasi lahir seiring dengan munculnya perseolan “mengapa” seseorang berperilaku, motivasi itu sendiri didefinisikan sebagai usaha keras yang timbul dalam diri manusia, maqa>shid al-syari>ah bila dikaitkan dalam aktivitas ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhan, dalam arti memperoleh kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.[21]
H}i>lah dalam aspek maqa>shid al-syari>ah haruslah mencakup pada tiga tingkatan penting pada maqa>shid al-syari>ah yang terbagi menjadi tiga cabang yaitu, dharuriyat, hajiyyat, dan tahsiniyah.
Pertama tingkatan dharuriyat segala hal yang menjadi sendi eksitensi kehidupan manusia yang harus ada demi kemaslahatan. Hal ini dapat disimpulkan kepada lima sendi utama yaitu, agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Bila sendi ini tidak terpelihara dengan baik, maka kehidupan manusia akan kacau, kemashlahatan tidak akan terwujud, baik di dunia maupun di akhirat[22]. H}i>lah pada kedudukan ini dirancang untuk mengekalkan wujud harta dan mengembangkannya sehingga bisa dimanfaatkan oleh semua lapisan masyarakat[23].
Kedua, tingkatan hajiyyat yaitu segala sesuatu yang sangat dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segalah halangan[24]. H}i>lah dalam tingkatan ini dibuat untuk mengelak kesempitan dan kesusahan dalam aktivitas keuangan Islam dan melancarkan operasi keuangan Islam[25].
Ketiga, tingkatan tahsiniyah yaitu tindakan yang pada prinsipnya untuk pemeliharaan tindakan utama. Artinya, seandainya aspek ini tidak terwujud, maka kehidupan mausia tidak akan terancam kekacauan, seperti kalau tidak terwujud aspek dharuriyyat dan juga tidak membawa kesusahan seperti tidak terpenuhinya aspek hajiyyat. Namun, ketiadaan aspek ini akan menimbulkan suatu kondisi yang kurang harmonis dalam pandangan akal sehat dan adat kebiasaan, menyalahi kepatuhan, dan menurunkan martabat pribadi dan masyarakat[26]. H}i>lah dalam kedudukan ini untuk menyempurnakan aktivitas muamalah supaya lebih teratur dan sistematik dan untuk memperlihatkan kemuliaan dari segi layanan yang diberikan kepada pelanggan[27].
b)      Aspek Qasd al-Mukallaf
Qasd al-Mukallaf adalah maksud dari manusia yang harus sesuai tuntunan syar’i, dalam artian, apabila manusia itu melakukan perbuatan di luar panduan syariat maka perbutannya batil, dan tidak diterima di sisi Allah[28]. H}i>lah dalam qasd al-mukallaf tidak boleh melanggar ketentuan maqashid al-syariah, terutama maqashid al syariah yang ada pada hirarki tertingi[29].
c)      Aspek Al-Wasa>’il
Al-Wasa>’il adalah jalan yang membawa kepada suatu yang juga bersifat sebagai sarana. H}i>lah dalam aspek wasa>’il tidak menyebabkan batalnya maqashid al-syariah[30].
d)      Aspek Maslahah
Maslahah menurut ulama ushul fiqih, adalah menarik suatu kemanfaatan dan menolak kemudharatan. Dalam lingkup muamalah dan sejenisnya, maka yang diikuti adalah kemaslahatan bagi manusia sebgaimana yag telah ditentukan[31]. H}i>lah dalam aspek ini tidak boleh tertutupnya maslahah lain yang lebih besar[32].
e)      Aspek azi>mah dan Rukhs}ah
Azi>mah ialah peraturan agama yang pokok dan berlaku umum sejak dari semulanya. Arti berlaku umum, ialah berlaku bagi seluruh mukallaf dan dalam semua keadaan dan waktu. Ada juga fuqaha yang mendefinisikannya sebagai sesuatu yang dianggap sebagai hukum asal yang bebas dari keadaan baru yang dapat mengubah hukum asal[33].
Rukhs}ah  ialah peraturan tambahan yang dijalankan berhubung adanya hal-hal yang memberatkan (mashaqat = kesukaran), sebagai pengecualian dari peraturan pokok (umum)[34]. Dalam sebuah jurnal ISRA (International Shari’ah Research Academy for Islamic Finance) yang berjudul “Parameter H{iyal dalam Kewangan Islam”. H{ilah dalam aspek azi>mah dan ruks}ha dibagi menjadi dua kategori
Pertama: H{iyal Mashru>’ah yang aplikasinya tidak mempunyai batas waktu tertentu. Dengan kata lain boleh digunakan pada setiap masa bagaimana pun keadaanya. Dengan syarat tindakan ini mendapat persetujuan pihak-pihak yang berkontrak[35].
Kedua: H{iyal Mashru>’ah yang aplikasinya mempunyai batas waktu tertentu. Dengan kata lain boleh dipakai untuk sementara disebabkan karena keadaan terdesak atau kekangan tertentu yang menghalangi suatu produk untuk dilaksanakan jika tidak melakukan h}i>lah[36].
Hampir semua mazhab menyepakati istilah h}i>lah dalam pembahasan mereka. Apa yang membedakan antara mazhab yang mengharamkan dan membenarkan h}i>lah ialah dari sudut penggunaan istilah tersebut secara khusus. Mazhab yang mengaharamkan h}i>lah melihat dari penggunaanya untuk membatalkan suatu hukum atau menggantinya kepada hukum yang lain untuk tujuan menyalahi maqa>s}id al-shar’i> dalam syariat tersebut. Sebaliknya, golongan yang membenarkan h}i>lah melihat penggunaanya sebagai jalan penyelesaian untuk keluar dari perkara yang haram kepada perkara yang halal.
Mayoritas fuqaha berpandangan bahwa jika h}i>lah adalah untuk mengahalalkan yang haram maka hal ini dikategorikan sebagai h}i>lah yang dilarang (al-h{iya>l al-mamnu>‘ah). Sebaliknya, jika tujuan h}i>lah dilakukan adalah untuk meninggalkan perkara yang haram dan mencapai sesuatu yang halal, maka ia dikategorikan h}i>lah yang dibenarakan (al-h{i>lah al-mashru>’ah).


B.   Charge Card secara umum
1.    Pengertian charge card secara umum
Charge card adalah jenis kartu kredit yang dapat digunakan sebagai alat pembayaraan transaksi jual beli barang/jasa. Pemegang kartu harus membayar seluruh tagihan sacara penuh pada akhir bulan atau bulan berikutnya dengan atau tanpa biaya tambahan. Oleh karena itu, kartu kredit ini sebut juga kartu pembayaraan penuh pada tanggal jatuh tempo, yang memiliki sifat penundaan pembayaran. Jika tidak dibayar penuh, pemegang kartu akan dibebani denda (charge)[37].
2.    Dasar hukum perundang-undangan Charge card dan syariah Charge Card
Charge card tidak hanya dilakukan dari segi kebutuhan ekonomi, melainkan harus didukung pula oleh pendekatan hukum (legal approach), sehingga diakui dan berlaku dalam hubungan hukum bisnis[38].
Syariah Charge Card atau kartu kredit berbasis syariah juga diatur oleh undang-undang di antaranya adalah undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah, peraturan bank Indonesia nomor 11/ 11 /PBI/2009 tentang penyelanggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu.
Kartu kerdit menurut peraturan bank Indonesia nomor 11/ 11 /PBI/2009  kartu kredit adalah APMK yang dapat digunkan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan atau untuk melakukan penarikan tunai dimana kewajiban pembayaran kartu terlebih dahulu oleh acquirer  atau penerbit dan pemegang kartu berkewajiban untuk melakuakan pembayaraan pada waktu yang disepakati baik dengan pelunasan secara sekaligus (charge card) atau pun dengan pembayaran dengan angsuran.[39]
Sedangkan pada undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah peraturan tentang Charge Card diterangkan pada pasal 19 huruf H tentang kegiatan bank umum syariah, melakukan usaha kartu debit dan atau kartu pembiayaan berdasarkan prinsip syariah[40].
Charge Card merupakan salah satu bentuk kegiatan ekonomi di bidang usaha pembiayaan yang bersumber dari berbagai kentutuan hukum baik perjanjian maupun perundang-undangan. Perjanjian adalah sumber utama hukum kartu kredit dari segi peradata, sedangkan perundang-undangan adalah sumber utama hukum kartu kredit dari segi publik.  


3.    Pihak yang terkait dengan Charge card
1)      Penerbit atau issuer  merupakan pihak atau lembaga yang mengeluarkan dan mengelola suatu kartu. Penerbit dapat berupa bank, lembaga keuangan dan perusahaan non lembaga keuangan yang mendapatkan izin dari departemen keuangan.
2)      Acquirer  adalah lembaga yang mengelolah penggunaan kartu plastik terutama dalam hal penagian dan pembayaran antara pihak issuer dengan pihak merchant.
3)      Card holder/pemegang kartu adalah terdiri atas persorangan yang telah memenuhi prosedur atau persyaratan yang ditetapakan oleh penerbit untuk dapat diterima sebagai anggota dan berhak menggunakan kartu sesuai dengan keguanaanya.
4)      Merchant adalah pihak yang menerima pemabayaran dengan kartu atas transaksi jual beli barang atau jasa. Merchant dapat berupa pedagang, toko, hotel, restoran, travel biro dan lainnya, yang sebelumnya telah melaukan perjanjian dengan issuer dan acquier.[41]
4.    Sistem Kinerja Charge Card
sistem transkasi charge card adalah bekerjanya charge card mulai dari penerbit kartu, transaksi pembayaraan atau penarikan uang tunai sampai dengan transaksi pembayaraan oleh bank dengan melibatkan pihak-pihak yang saling berkepentingan.
Sistem kinerja kartu kredit mulai dari permohonan penerbitan kartu, transaksi pembelanjaan, transaksi pembelian uang tunai, pembayaran oleh nasabah ke bank sampai dengan penagihan yang dilakukan oleh lembaga penerbit dan pembayaran kartu kredit kepada nasabah. Sistem kerja dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Nasabah mengajukan permohonan sebagai pemegang kartu dengan memenuhi segala peraturan yang telah ditetapkan oleh bank atau perusahaan pembiayaan.
2.      Bank atau perusahaan pembiayaan akan menerbitkan kartu, apabila disetujui, setelah melalui penelitian terhadap kredibelitas (kepercayaan) dan capabilitas (kemapuan) calon nasabah, kemudian kartu tersebut diserahkan ke nasabah pemegang kartu.
3.      Dengan kartu yang disetujui pemegang kartu dapat melakukan berbagai transaksi pembelanjaan atau pembayaran di berbagai tempat yang mengikat perjajian dengan bank atau perusahaan pembiayaan atau mengambil uang tunai di berbagai ATM[42].
Selanjutnya apabilah nasabah pemegang kartu melakukan transaksi, maka sistem kerja penagihannya adalah sebagai berikut:
1.      Pemegang kartu melakukan transaksi dengan menujukan kartu dan menandatangani bukti belanja untuk memastikan kepemilikan kartu.
2.      Pihak pedagang menagihkan ke bank atau lembaga pembiayaan berdasarkan bukti transaksi dengan nasabah dengan pihak pedagang.
3.      Bank atau lembaga pembiayaan akan membayar kembali kepada pedagang sesuai dengan perjanjian yang telah mereka sepakati.
4.      Bank atau lembaga pembiayaan akan menagih ke pemegang kartu berdasarkan bukti transaksi sampai batas waktu yang telah ditentukan.
5.      Pemegang kartu akan membayar sejumlah nominal yang tertera sampai pada batas yang telah ditentuakan dan apabila terjadi keterlambatan, maka nasabah akan dikenakan denda dengan disertai suku bunga yang di tetapakan.[43]



[1] Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Amzah, 2005), 85.
[2] Muhammad Rawwas Qal’ahji, Ensiklopedi Fiqih Umar Bin Khattab RA, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), 153.

[3] Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwāfaqāt fī Ushul al-Syarī’ah juz4, (Beirut: Dar  al-Ma’rifah,1999),558.
[4] Ibnu Qoyim Al Jauziyah,Terj. Asep Saefullah, Panduan Hukum Islam I’lamul Muwaqi’in, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), 502.
[5] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah jilid 2, (Kuwait: Wazara al Auraf wa al Tsiun at Islamiyah, 2008), 102.
[6] John Wiley & Sons, Inc, Legal Fiction Legal Definition, http://law.yourdictionary.com/legal-fiction, 28 juli 2012
[7] Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, 142.
[8] Ahmad Nahrawi Abdus Salam  al-Indunisi, Terj. Usman Sya’roni, Ensiklopedia Imam Syafi’i, (Jakarta: Hikma PT Mizan Publika, 2008), 152.
[9] Muhamad Ayub, Terj. Aditya Wisnu Pribadi, Understanding Islamic Finance A-Z Keuangan Syariah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), 232.
[10] Mohamed Fairooz Abdul Khir et al,  “Parameter H{iya>l Dalam Kewangan Islam”, ISRA Research Paper, No 23 , (2003), hal 5.
[11]Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemah, (Surabaya: Mahkota, 1971), 418.
[12] Ibid., 248.
[13] Ibid., 381.
[14] Abu Hasanurudin, Muhammad Abdul Hadi al Sahad, S{ha>hi al-Bu>khari Binasiyati al-imam al sindi Juz 2 (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2008), 55.
[15] Depag, Al Qur’an dan Terjemah, 137.
[16] Ibid.,738.
[17] Mohamed Fairooz Abdul Khir et al , Parameter hal 7.
[18] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 1996), 555

[19] Ibid,. 556.
[20] Edi Kurniawan, “Teori Maqashid al-Syar>iah Dalam Penalaran Hukum Islam”, dalam http://edikando.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html, 17 april 2012.
[21] Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka, 2008), hal 125.
[22] Edi Kurniawan, “Teori Maqashid al-Syar>iah Dalam Penalaran Hukum Islam”, dalam http://edikando.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html, 17 april 2012.
[23] Mohamed Fairooz Abdul Khir et al , Parameter, 47.
[24] Al-Shatiybi al-Muwafqat, j.2., 7.
[25] Mohamed Fairooz Abdul Khir et al , Parameter, 48.
[26] Edi Kurniawan, “Teori Maqashid al-Syar>iah Dalam Penalaran Hukum Islam”, dalam http://edikando.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html, 17 april 2012.
[27] Fairooz Abdul Khir et al , Parameter, 50.
[28] Ahmad Muhammad, “ Rekonstruksi Maqashid al-Syari’ah dalam Prespektif Thahir bin ‘Asyur”, dalam http://kopiitunikmat.blogspot.com/2010/09/rekonstruksi-maqashid-al-syariah-dalam.html.
[29] Fairooz Abdul Khir et al , Parameter hal 54.
[30] Ibid., 55.
[31] Ahmad al-Rasysuni, Muhammad Jamal Barut, Terj. Ibnu Rusydi, Hayyin Muhdzar, Ijtihad antara Teks, Realitas dan Kemaslahatan Sosial, (Surabaya: Erlangga, 2002), 22.
[32] Fairooz Abdul Khir et al , Parameter hal 56.
[33] Masykur Anhari, Ushul Fiqh, (Surabaya: Diantama, 2008), 25.
[34] Ibid.
[35] Fairooz Abdul Khir et al , Parameter, 57.
[36] Ibid.
[37] Abdulkadir Muhammad&Rida Murniati, Lembaga Kuangan dan Pembiyaan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), 275.
[38] Ibid., 276.
[39] Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/11/PBI/2009, Tentang Penyelanggaraan Kegiatan Alat Pembayaraan Dengan Menggunkan Kartu.
[40] Undang-Undang No 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
[41] Ismail Nawawi, Hukum Perjanjian dalam Prespektif Islam, (Surabaya, Putra Media Nusantara, 2010), 233-234.
[42] Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), 172.
[43]  Ibid, 173.