H{I>><LAH DALAM
HUKUM ISLAM
DAN CHARGE CARD SECARA
UMUM
A. H{i>lah
dalam Islam
1.
Pengertian
H{i>lah
H>>{i>lah
adalah bentuk jamak dari al-h}iya>l (الحيل)adalah sebuah strategi hukum untuk
mengelak dari kententuan syariat (hukum agama) yang secara teknik tidak
dipandang sebagai melanggar hukum[1].
Adapun secara istilah, al-h}i>lah adalah
melakukan suatu amalan yang dhahirnya boleh untuk membatalkan hukum syar’i
serta memalingkannya kepada hukum yang lainnya.
اَلْحِيْلَةُ
هِيَ تَقْدِيْمُ عَمَلُ الظَّاهِر الْجَوَازَ لإِبْطَال حُكِْم شَرْعِيِ وَتَحْويْلِهِ
مِنَ الظَّاهِر إِلَى حُكِْم آخَرِ
Artinya
:“H}i>lah adalah menampilkan suatu perbuatan yang kalau dilihat dari luarnya
adalah boleh untuk membatalkan hukum hukum syara’ dan mengubahnya kepada
hukum yang lainnya.”[2]
Menurut al-Syāthibi, pada hakekatnya, kata ini memiliki pengertian :
mendahulukan perbuatan yang tampaknya boleh untuk menggantikan suatu hukum dan
mengalihkannya ke hukum lain.[3]
Sedangkan menurut Ibnu Qoyim Al
jauziyah H{i>lah adalah
mencari jalan dengan cara yang licik
untuk menyembunyikan kenyataan bahwa sebenarnya tujuannya adalah melakukan
sesuatu yang diharamkan. Oleh karena itu, tingkah laku pelaku h{i>lah ini
mendapat predikat “jalan orang yang licik” atau thariiq al khaidaa’,
karena perbuatan luar mereka berbeda dengan motif mereka yang tersebunyi, yang
amat sulit terdeteksi dari luar.[4]
Sedangkan h{i>lah dalam Al
Mausu’ah al Fiqhiyyah adalah kecerdikan akal dalam mengelola untuk
membalikkan keadaan setiap pikiran untuk dibimbing kepada makna dimaksudkan.[5]
untuk menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya, tujuannya adalah melakukan
sesuatu yang diharamkan oleh hukum syara’.
Pengertian h}i>lah di barat
biasa disebut dengan legal fiction (fiksi
hukum):
“The assumption by the law that a
particular assertion is true (even though it may not be) in order to support
the functioning of a legal rule”.
“Asumsi secara hukum bahwa suatu pernyataan tertentu adalah benar (walaupun mungkin tidak) untuk mendukung berfungsinya aturan hukum”.[6]
Alasan h}i>lah
haram dilakukan melalui teori istiqra> (induksi dari berbagai dalil) di antaranya
ayat-ayat yang berkaitan dengan orang-orang yang munafik, sedangkan istiqra> menurut kamus ushul fiqih, istiqra> adalah
sebuah metode pengambilan kesimpulan umum yang dihasilkan oleh fakta-fakta
khusus yang digunakan oleh ahli-ahli fiqh untuk menetapkan suatu hukum.[7]
H{i<lah atau
H>{iya>l asy-syar’iyah (Muslihat Syari’at) merupakan metode
fiqih Abu Hanifah, dalam beberapa riwayat Abu Hanifah menggunakan metode ini
untuk memecahkan beberapa masalah, penggunaan metode “Muslihat Syari’at”
ini bukan untuk menipu dalam menggugurkan kebenaran dan membolehkan memakan
harta manusia dengan cara yang batil. Tetapi, untuk mencari jalan keluar dalam
masalah fiqih yang rumit tanpa merugikan harta dan jiwa orang lain.[8]
Sementara menurut penganut Syafi’i, Maliki, Hanbali telah menyatakan bahwa
penggunaan h}i>lah bersifat haram dan benar-benar dilarang.[9]
Sedangkan menurut kalangan fuqaha kontemporer, yaitu
Ibn A<shu>r, h{i>lah ialah melakukan perbuatan yang dilarang
oleh syara’ dalam bentuk yang diharuskan, atau melakukan perbuatan yang tidak
dibenarkan oleh syara’ dalam bentuk yang dibenarkan dalam mencapai maksud
tertentu.[10]
Dari
beberapa definisi h}i>lah di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang
dimaksud perbuatan h}i>lah adalah seseorang yang dengan sengaja
memanipulasi hukum dan mencari-cari jalan dengan cara yang tersembunyi untuk
menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya, tujuannya adalah melakukan sesuatu
yang diharamkan oleh hukum syara’.
2.
Dasar
Hukum
Adapun yang menjadi dasar hukum
pelarangan perbuatan h}iya>l adalah al-Quran dan hadits.
a.
Al-Quran
QS.
An-Nahl 16: 116
وَلَا
تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا
عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا
يُفْلِحُونَ
Artinya :”Dan janganlah kamu
mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta "Ini
halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah
beruntung”.[11]
QS.
Al-A’raf 7: 163
وَاسْأَلْهُمْ عَنِ
الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ إِذْ
تَأْتِيهِمْ حِيتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعًا وَيَوْمَ لَا يَسْبِتُونَ لَا
تَأْتِيهِمْ كَذَلِكَ نَبْلُوهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ
Artinya :”dan
tanyakan kepada bani israil tentang negeri yang terletak didekat laut ketika
mereka melanggar aturan kepada hari sabtu, diwaktu datang kepada mereka ikan
–ikan (yang ada disekitar) mereka terapung-apung di permukaaan air, dan di
hari-hari yang bukan sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka
demikianlah kami mencoba mereka disebabkan berlaku fasik.”[12]
QS.
An-Naml 27 : 50
وَمَكَرُوا
وَمَكَرَ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ
Artinya:”orang-orang kafir
itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu dan allah
sebaik-baik pembalas tipu daya itu[13]”.
b.
Hadits:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ
حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ يَزِيدِ بْنِ أَبِي حَبِيبِ عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ قَاتَلَ اللَّهُ
الْيَهُودَ إِنَّ
اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ
Artinya :“Telah meberitahukan kepada kami Qutaiba,
telah memberitahukan kepada kami al-Lais dari Yazid ibn Abi Habib dari Atha’
ibn Abi Rabah dari jabir ibn Abdullah aku mendengar Rasul bersabda: ”Allah
memerangi Yahudi, sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas mereka lemak
bangkai, namun mereka cairkan lalu mereka jual dan mereka memakan hasil
penjualannya[14].”
H{i>lah sering sekali
dikaitkan tentang amalan/perbuatan orang Yahudi dalam rangka menolak ajaran
Allah melalui utusanya, terlihat dari beberapa ayat al-Qur’an, yang salah
satunya menerangkan cerita tentang Ashabus Sabt, dimana mereka
diharamkan mencari ikan pada hari sabtu, tapi mereka tetap mendatangi sungai
yang menuju ke laut. Mereka meletakan jala pada hari jum’at kemudian ikan-ikan
masuk kedalam jala pada hari sabtu, dan mereka mengambilnya pada hari
berikutnya. Sedangkan
dalam hadist, ketika Allah swt. Mengharamkan makan lemak pada Bani Israil,
namun mereka mencairkan lemak itu, kemudian menjualnya dan hasilnya mereka
makan.
Sedangkan
yang menjadi dalil dalam pembolehan h}i>lah berdasarkan al-Quran:
a.
Al-Quran;
QS.
An-nisa’ 4: 98
إِلَّا
الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ
حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا
Artinya: kecuali mereka yang tertindas baik
laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan
tidak mengetahui jalan (untuk hijrah)[15].
QS.
Shaad’ 38: 44
وَخُذْ
بِيَدِكَ ضِغْثًا فَاضْرِبْ بِهِ وَلَا تَحْنَثْ إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ
الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ
Artinya: Dan ambillah dengan tanganmu seikat
(rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah.
Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik
hamba. Sesungguhnya dia amat ta`at (kepada Tuhannya)[16].
H{i>lah dalam ayat diatas Allah memberi
kelonggaran kepada golongan yang tidak mencari h{i>lah untuk
berhijrah ke Madinah, dan tidak menganggap mereka sebagai ahli neraka jahanam.
Walaupun Allah menggunakan kata h{i>lah dalam firmanya, tetapi dalam
konteksnya, ia bermaksud jalan keluar untuk melepaskan diri dari kekangan
orang-orang kafir
3.
Macam-macam
H>{i<lah secara umum
a)
H{i>lah
yang dilarang (al-h{iya>l al-madhmu>mah/ghayr al-mashru>’ah)
sekiranya jalan yang digunakan adalah untuk mencapai tujuan/maksud yang buruk
yang bertentangan dengan syara’/ menukarnya kepada hukum yang lain seperti
meninggalkan yang wajib dan menghalalkan apa yang haram serta merusakkan, h{i>lah
dalam kategori ini disepakati oleh semua madzhab.
b)
H{i>lah
yang dibolehkan (al-h{iya>l al-mah{mu>dah/al-mashru>’ah)
sekiranya jalan yang dimaksud adalah untuk mencapai tujuan/jalan yang baik dan
tidak bertentangan dengan syara’ adalah untuk menegakkan ajaran Allah dan
meninggalkan laranganya. H{i>lah dalam bentuk ini secara umum
diterima oleh jumhur fuqaha’, namun penggunaan
secara khusus dan meluas dalam konteks ini digunakan oleh ulama madzhab Hanafi[17].
Sedangkan Ibnu Qoyim Al-Jauziyah
membagi h{i>lah menjadi empat macam:
1.
H>{i<lah yang mengandung tujuan yang
diharamkan dan cara yang digunakan cara yang haram.
2.
H{i<lah yang dilakukan dengan melaksanakan
perbuatan yang dibolehkan, tetapi bertujuan untuk membatalkan hukum syarak
lainya.
3.
Cara yang ditempuh bukan cara yang
haram, melainkan sesuai dengan yang disyariatkan, akan tetapi perbuatan
tersebut digunakan untuk sesuatu yang diharamkan.
4.
Hukum
H{i>lah
Pada masa
sekarang banyak ditemukan praktik-praktik h}i>lah yang tersebar di
masyarakat, baik dilakukan oleh suatu lembaga, kelompok, atau individu
tertentu. Melakukan tipu
muslihat untuk menghalalkan yang haram dengan tujuan yakni untuk mencari
kesenangan duniawi.
Menurut Asy-Syatibi
menyebutkan enam alasan dilarangnya perbuatan h}i>lah antara lain:
1.
Tujuan
pelaku h}i>lah bertentangan dengan tujuan syar’i (Allah SWT dan
Rasulullah SAW)
2.
Akibat
dari perbuatan h}i>lah membawa kepada kemafsadatan (kerusakan) yang
dilarang oleh agama
3.
Dalam
akad yang melaksanakan suatu perbuatan berdasarkan h}i>lah, kehendak
untuk melakukan akad itu sesungguhnya tidak ada, sehingga unsur kerelaan dalam
akad yang dilakukan sebenarnya tidak ada
4.
H}i>lah
itu batal karena syaratnya yang bertentangan dengan kehendak akad
5.
H}i>lah
merupakan pembatalan terhadap hukum, sebab h{i>lah dilakukan dengan
meninggalkan atau menambah syarat yang menyalahi ketentuan syariat.
6.
H}i>lah
haram berdasarkan teori istiqra’ (induksi dari berbagai dalil). Dalil-dalil
tersebut di antaranya adalah ayat-ayat al-Qur’an yang menceritakan orang
munafik yang tidak ikhlas dalam beramal. H}i>lah dilakukan karena
menghindari suatu kewajiban, dan ini perilaku yang tidak ikhlas.[19]
5.
Aspek-aspek
Pembentuk H}i>lah
Dalam
suatu pembentukan h}i>lah pada suatu konsep hukum Islam, haruslah
ditinjau dari beberapa aspek supaya pembutukan h}i>lah tidak
menyebabkan pembatalan suatu hukum. Aspek-aspek pembentukan h}i>lah
antara lain, maqashid al-syariah, qasd al-mukallaf, wasa>’il,
maslaha, azi>mah dan rukhs}ha.
a)
Aspek
Maqa>shid al-Syari>ah
Maqashid
al-Sya>riah ulama ushul fiqih mendefinikan maqa>shid
al-syari>ah dengan makna dan tujuan yang dikehendaki oleh syara’ dalam
mensyariatkan hukum bagi kemaslahatan umat manusia, maqashid al-sya>riah
juga disebut juga asrar al-syari’ah yaitu rahasia-rahasia yang terdapat dibalik hukum yang ditetapkan oleh
syara’, berupa kemaslahatan bagi manusia baik di dunia dan akhirat[20].
Konsep maqa>shid
al-sya>riah mempunyai relevansi yang begitu erat dengan konsep motivasi,
konsep motivasi lahir seiring dengan munculnya perseolan “mengapa” seseorang
berperilaku, motivasi itu sendiri didefinisikan sebagai usaha keras yang timbul
dalam diri manusia, maqa>shid al-syari>ah bila dikaitkan dalam
aktivitas ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhan, dalam arti memperoleh
kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.[21]
H}i>lah dalam aspek maqa>shid al-syari>ah
haruslah mencakup pada tiga tingkatan penting pada maqa>shid al-syari>ah
yang terbagi menjadi tiga cabang yaitu, dharuriyat, hajiyyat, dan
tahsiniyah.
Pertama tingkatan dharuriyat segala
hal yang menjadi sendi eksitensi kehidupan manusia yang harus ada demi
kemaslahatan. Hal ini
dapat disimpulkan kepada lima sendi utama yaitu, agama, jiwa, akal, keturunan,
dan harta. Bila sendi ini tidak terpelihara dengan baik, maka kehidupan manusia
akan kacau, kemashlahatan tidak akan terwujud, baik di dunia maupun di akhirat[22]. H}i>lah pada kedudukan ini dirancang
untuk mengekalkan wujud harta dan mengembangkannya sehingga bisa dimanfaatkan
oleh semua lapisan masyarakat[23].
Kedua, tingkatan hajiyyat yaitu
segala sesuatu yang sangat dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan
kesulitan dan menolak segalah halangan[24]. H}i>lah dalam tingkatan
ini dibuat untuk mengelak kesempitan dan kesusahan dalam aktivitas keuangan Islam
dan melancarkan operasi keuangan Islam[25].
Ketiga, tingkatan tahsiniyah yaitu tindakan yang pada prinsipnya untuk
pemeliharaan tindakan utama. Artinya, seandainya aspek ini tidak terwujud, maka
kehidupan mausia tidak akan terancam kekacauan, seperti kalau tidak terwujud
aspek dharuriyyat dan juga tidak membawa kesusahan seperti tidak
terpenuhinya aspek hajiyyat. Namun, ketiadaan aspek ini akan menimbulkan
suatu kondisi yang kurang harmonis dalam pandangan akal sehat dan adat
kebiasaan, menyalahi kepatuhan, dan menurunkan martabat pribadi dan masyarakat[26].
H}i>lah dalam kedudukan ini untuk menyempurnakan aktivitas
muamalah supaya lebih teratur dan sistematik dan untuk memperlihatkan kemuliaan
dari segi layanan yang diberikan kepada pelanggan[27].
b)
Aspek Qasd al-Mukallaf
Qasd al-Mukallaf adalah maksud dari manusia yang
harus sesuai tuntunan syar’i, dalam artian, apabila manusia itu melakukan perbuatan
di luar panduan syariat maka perbutannya batil, dan tidak diterima di sisi
Allah[28]. H}i>lah dalam qasd
al-mukallaf tidak boleh melanggar ketentuan maqashid al-syariah,
terutama maqashid al syariah yang ada pada hirarki tertingi[29].
c)
Aspek Al-Wasa>’il
Al-Wasa>’il adalah jalan yang membawa kepada
suatu yang juga bersifat sebagai sarana. H}i>lah dalam aspek wasa>’il
tidak menyebabkan batalnya maqashid al-syariah[30].
d)
Aspek Maslahah
Maslahah menurut ulama ushul fiqih, adalah menarik suatu
kemanfaatan dan menolak kemudharatan. Dalam lingkup muamalah dan sejenisnya,
maka yang diikuti adalah kemaslahatan bagi manusia sebgaimana yag telah
ditentukan[31]. H}i>lah dalam aspek ini tidak boleh
tertutupnya maslahah lain yang lebih besar[32].
e)
Aspek azi>mah dan Rukhs}ah
Azi>mah ialah peraturan agama yang pokok dan berlaku umum
sejak dari semulanya. Arti berlaku umum, ialah berlaku bagi seluruh mukallaf
dan dalam semua keadaan dan waktu. Ada juga fuqaha yang mendefinisikannya
sebagai sesuatu yang dianggap sebagai hukum asal yang bebas dari keadaan baru
yang dapat mengubah hukum asal[33].
Rukhs}ah ialah
peraturan tambahan yang dijalankan berhubung adanya hal-hal yang memberatkan (mashaqat
= kesukaran), sebagai pengecualian dari peraturan pokok (umum)[34]. Dalam sebuah jurnal ISRA (International Shari’ah
Research Academy for Islamic Finance) yang berjudul “Parameter H{iyal
dalam Kewangan Islam”. H{ilah dalam aspek azi>mah dan ruks}ha
dibagi menjadi dua kategori
Pertama: H{iyal Mashru>’ah yang aplikasinya tidak mempunyai batas waktu
tertentu. Dengan kata lain boleh digunakan pada setiap masa bagaimana pun
keadaanya. Dengan syarat tindakan ini mendapat persetujuan pihak-pihak yang
berkontrak[35].
Kedua: H{iyal Mashru>’ah yang aplikasinya mempunyai batas waktu tertentu.
Dengan kata lain boleh dipakai untuk sementara disebabkan karena keadaan
terdesak atau kekangan tertentu yang menghalangi suatu produk untuk
dilaksanakan jika tidak melakukan h}i>lah[36].
Hampir semua mazhab menyepakati
istilah h}i>lah dalam pembahasan mereka. Apa yang membedakan antara
mazhab yang mengharamkan dan membenarkan h}i>lah ialah dari sudut
penggunaan istilah tersebut secara khusus. Mazhab yang mengaharamkan h}i>lah
melihat dari penggunaanya untuk membatalkan suatu hukum atau menggantinya
kepada hukum yang lain untuk tujuan menyalahi maqa>s}id al-shar’i>
dalam syariat tersebut. Sebaliknya, golongan yang membenarkan h}i>lah
melihat penggunaanya sebagai jalan penyelesaian untuk keluar dari perkara yang
haram kepada perkara yang halal.
Mayoritas fuqaha berpandangan bahwa
jika h}i>lah adalah untuk mengahalalkan yang haram maka hal ini dikategorikan
sebagai h}i>lah yang dilarang (al-h{iya>l
al-mamnu>‘ah). Sebaliknya, jika tujuan h}i>lah
dilakukan adalah untuk meninggalkan perkara yang haram dan mencapai sesuatu
yang halal, maka ia dikategorikan h}i>lah yang dibenarakan (al-h{i>lah
al-mashru>’ah).
B.
Charge
Card secara umum
1.
Pengertian charge
card secara umum
Charge card adalah jenis
kartu kredit yang dapat digunakan sebagai alat pembayaraan transaksi jual beli
barang/jasa. Pemegang kartu harus membayar seluruh tagihan sacara penuh pada
akhir bulan atau bulan berikutnya dengan atau tanpa biaya tambahan. Oleh karena
itu, kartu kredit ini sebut juga kartu pembayaraan penuh pada tanggal jatuh
tempo, yang memiliki sifat penundaan pembayaran. Jika tidak dibayar penuh,
pemegang kartu akan dibebani denda (charge)[37].
2.
Dasar hukum
perundang-undangan Charge card dan syariah Charge Card
Charge card tidak hanya dilakukan
dari segi kebutuhan ekonomi, melainkan harus didukung pula oleh pendekatan
hukum (legal approach), sehingga diakui dan berlaku dalam hubungan hukum
bisnis[38].
Syariah Charge Card atau kartu kredit
berbasis syariah juga diatur oleh undang-undang di antaranya adalah
undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah, peraturan bank
Indonesia nomor 11/
11 /PBI/2009 tentang penyelanggaraan kegiatan alat pembayaran dengan
menggunakan kartu.
Kartu kerdit menurut peraturan bank
Indonesia nomor 11/ 11 /PBI/2009
kartu kredit adalah APMK yang dapat digunkan untuk melakukan pembayaran atas
kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi
pembelanjaan dan atau untuk melakukan penarikan tunai dimana kewajiban pembayaran kartu terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit dan pemegang kartu berkewajiban
untuk melakuakan pembayaraan pada waktu yang disepakati baik dengan pelunasan
secara sekaligus (charge card) atau pun dengan pembayaran dengan
angsuran.[39]
Sedangkan pada undang-undang nomor 21
tahun 2008 tentang Perbankan Syariah peraturan tentang Charge Card
diterangkan pada pasal 19 huruf H tentang kegiatan bank umum syariah, melakukan
usaha kartu debit dan atau kartu pembiayaan berdasarkan prinsip syariah[40].
Charge Card merupakan salah satu
bentuk kegiatan ekonomi di bidang usaha pembiayaan yang bersumber dari berbagai
kentutuan hukum baik perjanjian maupun perundang-undangan. Perjanjian adalah
sumber utama hukum kartu kredit dari segi peradata, sedangkan perundang-undangan
adalah sumber utama hukum kartu kredit dari segi publik.
3.
Pihak yang terkait dengan
Charge card
1)
Penerbit atau
issuer merupakan pihak atau lembaga yang
mengeluarkan dan mengelola suatu kartu. Penerbit dapat berupa bank, lembaga
keuangan dan perusahaan non lembaga keuangan yang mendapatkan izin dari
departemen keuangan.
2)
Acquirer adalah lembaga yang mengelolah penggunaan
kartu plastik terutama dalam hal penagian dan pembayaran antara pihak issuer
dengan pihak merchant.
3)
Card holder/pemegang kartu adalah
terdiri atas persorangan yang telah memenuhi prosedur atau persyaratan yang
ditetapakan oleh penerbit untuk dapat diterima sebagai anggota dan berhak
menggunakan kartu sesuai dengan keguanaanya.
4)
Merchant adalah pihak yang menerima
pemabayaran dengan kartu atas transaksi jual beli barang atau jasa. Merchant
dapat berupa pedagang, toko, hotel, restoran, travel biro dan lainnya, yang
sebelumnya telah melaukan perjanjian dengan issuer dan acquier.[41]
4.
Sistem Kinerja Charge Card
sistem
transkasi charge card adalah bekerjanya charge card mulai dari
penerbit kartu, transaksi pembayaraan atau penarikan uang tunai sampai dengan
transaksi pembayaraan oleh bank dengan melibatkan pihak-pihak yang saling
berkepentingan.
Sistem kinerja kartu kredit mulai dari permohonan
penerbitan kartu, transaksi pembelanjaan, transaksi pembelian uang tunai,
pembayaran oleh nasabah ke bank sampai dengan penagihan yang dilakukan oleh
lembaga penerbit dan pembayaran kartu kredit kepada nasabah. Sistem kerja dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1.
Nasabah mengajukan permohonan sebagai pemegang kartu
dengan memenuhi segala peraturan yang telah ditetapkan oleh bank atau
perusahaan pembiayaan.
2.
Bank atau perusahaan pembiayaan akan menerbitkan kartu,
apabila disetujui, setelah melalui penelitian terhadap kredibelitas (kepercayaan)
dan capabilitas (kemapuan) calon nasabah, kemudian kartu tersebut
diserahkan ke nasabah pemegang kartu.
3.
Dengan kartu yang disetujui pemegang kartu dapat
melakukan berbagai transaksi pembelanjaan atau pembayaran di berbagai tempat
yang mengikat perjajian dengan bank atau perusahaan pembiayaan atau mengambil
uang tunai di berbagai ATM[42].
Selanjutnya apabilah nasabah pemegang kartu melakukan
transaksi, maka sistem kerja penagihannya adalah sebagai berikut:
1.
Pemegang kartu melakukan transaksi dengan menujukan kartu
dan menandatangani bukti belanja untuk memastikan kepemilikan kartu.
2.
Pihak pedagang menagihkan ke bank atau lembaga pembiayaan
berdasarkan bukti transaksi dengan nasabah dengan pihak pedagang.
3.
Bank atau lembaga pembiayaan akan membayar kembali kepada
pedagang sesuai dengan perjanjian yang telah mereka sepakati.
4.
Bank atau lembaga pembiayaan akan menagih ke pemegang
kartu berdasarkan bukti transaksi sampai batas waktu yang telah ditentukan.
5.
Pemegang kartu akan membayar sejumlah nominal yang
tertera sampai pada batas yang telah ditentuakan dan apabila terjadi keterlambatan,
maka nasabah akan dikenakan denda dengan disertai suku bunga yang di tetapakan.[43]
[2] Muhammad
Rawwas Qal’ahji, Ensiklopedi Fiqih Umar Bin Khattab RA, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1999), 153.
[3]
Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwāfaqāt
fī
Ushul al-Syarī’ah juz4,
(Beirut:
Dar al-Ma’rifah,1999),558.
[4] Ibnu
Qoyim Al Jauziyah,Terj.
Asep
Saefullah, Panduan Hukum Islam I’lamul Muwaqi’in, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007), 502.
[5] Al Mausu’ah al
Fiqhiyyah jilid 2, (Kuwait: Wazara al Auraf wa al Tsiun at Islamiyah,
2008), 102.
[6] John Wiley &
Sons, Inc, Legal Fiction Legal Definition, http://law.yourdictionary.com/legal-fiction,
28 juli 2012
[8] Ahmad Nahrawi Abdus
Salam al-Indunisi, Terj. Usman Sya’roni,
Ensiklopedia Imam Syafi’i, (Jakarta: Hikma PT Mizan Publika, 2008), 152.
[9] Muhamad Ayub, Terj. Aditya
Wisnu Pribadi, Understanding Islamic Finance A-Z Keuangan Syariah, (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), 232.
[10] Mohamed
Fairooz Abdul Khir et al, “Parameter
H{iya>l Dalam Kewangan Islam”, ISRA Research Paper, No 23 , (2003), hal 5.
[13] Ibid., 381.
[14] Abu Hasanurudin,
Muhammad Abdul Hadi al Sahad, S{ha>hi al-Bu>khari Binasiyati al-imam
al sindi Juz 2 (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2008), 55.
[16] Ibid.,738.
[17] Mohamed Fairooz
Abdul Khir et al , Parameter hal 7.
[18] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi
Hukum Islam, (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 1996), 555
[19] Ibid,. 556.
[20] Edi
Kurniawan, “Teori Maqashid al-Syar>iah Dalam Penalaran Hukum Islam”, dalam
http://edikando.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html,
17 april 2012.
[21] Ahmad Ifham
Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka,
2008), hal 125.
[22] Edi Kurniawan,
“Teori Maqashid al-Syar>iah Dalam Penalaran Hukum Islam”, dalam http://edikando.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html,
17 april 2012.
[23] Mohamed Fairooz
Abdul Khir et al , Parameter, 47.
[24] Al-Shatiybi al-Muwafqat,
j.2., 7.
[26] Edi Kurniawan,
“Teori Maqashid al-Syar>iah Dalam Penalaran Hukum Islam”, dalam http://edikando.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html,
17 april 2012.
[27] Fairooz Abdul Khir et
al , Parameter, 50.
[28]
Ahmad Muhammad, “ Rekonstruksi Maqashid al-Syari’ah dalam Prespektif
Thahir bin ‘Asyur”, dalam http://kopiitunikmat.blogspot.com/2010/09/rekonstruksi-maqashid-al-syariah-dalam.html.
[29] Fairooz Abdul Khir et
al , Parameter hal 54.
[30] Ibid., 55.
[31] Ahmad al-Rasysuni,
Muhammad Jamal Barut, Terj. Ibnu Rusydi, Hayyin Muhdzar, Ijtihad antara
Teks, Realitas dan Kemaslahatan Sosial, (Surabaya: Erlangga, 2002), 22.
[32] Fairooz Abdul Khir et
al , Parameter hal 56.
[33] Masykur Anhari, Ushul
Fiqh, (Surabaya: Diantama, 2008), 25.
[34] Ibid.
[35] Fairooz Abdul Khir et
al , Parameter, 57.
[36] Ibid.
[37] Abdulkadir
Muhammad&Rida Murniati, Lembaga Kuangan dan Pembiyaan, (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2000), 275.
[38] Ibid., 276.
[39] Peraturan
Bank Indonesia Nomor: 11/11/PBI/2009, Tentang Penyelanggaraan Kegiatan Alat
Pembayaraan Dengan Menggunkan Kartu.
[41] Ismail Nawawi, Hukum
Perjanjian dalam Prespektif Islam, (Surabaya, Putra Media Nusantara, 2010),
233-234.